Entrepreneurship is a way of life

I came to the realization that entrepreneurship was right for me when I imagined what my life after college would look like. I liked my internship at Mastercard but didn’t really see myself…

Smartphone

独家优惠奖金 100% 高达 1 BTC + 180 免费旋转




Kita yang Dibentangi Jarak

Izinkan aku tetap setia mendukungmu. Selalu berdoa agar segala kebaikan dan jalan kemudahan menerpa dirimu. Aku akan menceritakan kepada generasiku, bahwa menulis, membaca, dan terus belajar adalah sebuah keharusan hidup sebagai manusia. Kesadaran dan kepekaan harus dilatih sejak dini mungkin.

Indonesia terlalu luas untuk kita bicarakan. Tapi, tidak ada yang salah, jika kita mendiskusikan; membicarakan persoalan yang menimpa setiap daerah. Menggalang kekuatan generasi zaman atas nama cinta. Mempertajam pola pikir. Melakukan pendekatan atas nama rasa kepekaan; nasib sepenanggungan. Memperbaiki jiwa dan raga dengan setulus hati.

Ketika aku bekerja di bawah sistem, banyak hal bobrok yang ditampakan. Mereka yang dulu berkoar atas nama idealisme dan kebenaran kini mencari posisi aman. Belum lagi, generasi masa kini pun ikut-ikutan. Membudayakan kebiadaban yang sudah mulai mendarah daging itu.

Siapa lagi diharapkan, jika setiap langkah dan perjuangan orang-orang baik selalu dilumpuhkan, dikebiri, dikangkangi dengan pelbagai aturan yang disepakati sebelah pihak itu! Bagaimana bangsa dan negara ini maju, kalau generasi mudanya lebih sibuk mengurus diri sendiri? Dilema. Tidak peka dengan keadaan dan pelbagai masalah merongrong ruang publik. Melupakan tugas dan segala amanah, bahwa perubahan sebuah nation-state ada pada pundak generasi zaman. Anak muda yang tidak pernah lelah dalam berjuang; berkarya demi terwujudnya masyarakat adil makmur.

Persatuan perlu dipupuk setiap waktu. Mari sama-sama menyadarkan yang lain. Jalan ke depan lebih sulit, jika kita tetap tercerai-berai.

Aku masih punya keyakinan besar, banyak orang; generasi zaman yang tidak akan membiarkan segala kemerosotan ini terus menggerogoti bumi manusia. Dan aku selalu berdiri di barisan depan bersama mahasiswa kritis. Anak muda kepala batu. Mereka yang hatinya selalu bergetar menyuarakan keadilan. Membela kepentingan rakyat, agar kesejahteraan berlaku semua untuk semua.

"Siapa yang harus ditokohkan, jika banyak orang lebih sibuk merampok? Mengurus diri sendiri. Lembaga-lembaga pemerintah dikuasai oleh orang-orang yang krisis moral itu!" keluhku dalam hati dengan wajah geram.

Aku duduk manis di depan ruang kelas sambil menunggu jam mengajar tiba. Di luar sana, beberapa mahasiswa sibuk berpose. Ada lagi yang berkumpul di kantin kampus. Beberapa orang membuat lingkaran, berdiskusi. Dan pada setiap lingkaran diskusi sudah barang tentu selalu ada Lana. Mahasiswa kepala batu berambut gondrong itu.

Belum sampai dua tahun aku sebagai dosen pada sebuah kampus swasta di kota kelahiranku, negeri Timur Jauh. Aku terus berusaha memberi kesadaran. Mengarahkan mahasiswa untuk bangkit melawan. Aku ingin mereka tidak acuh tak acuh melihat segala bentuk kebiadaban yang terjadi. Mahasiswa harus sadar! Tetap tegak berdiri sebagai pelopor.

Berbicara mahasiswa, ingatanku tentang Soe Hok Gie terus menari-nari di kepala. Gie lahir di Jakarta pada 17 Desember 1942. Meninggal di Gunung Semeru pada 16 Desember 1969 saat umur 26 tahun. Usia yang masih terbilang cukup muda. Ia adalah salah satu aktivis Indonesia yang menentang kediktatoran berturut-turut dari masa Presiden Soekarno dan Soeharto. Gie adalah mahasiswa fakultas Sastra jurusan Sejarah di Universitas Indonesia pada tahun 1962-1969.

Dalam buku "Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran" Harsja W. Bachtiar melalui kata pengantarnya mengatakan. "Soe Hok Gie: seorang pemuda yang tidak hanya belajar dan bertindak berusaha mewujudkan cita-citanya, melainkan dengan tekun mencatat apa yang dialaminya, yang dipikirkannya. Dengan perantaraan catatan-catatan hariannya dapatlah kita memperoleh pengetahuan mengenai kehidupan para mahasiswa dengan berbagai permasalahan yang dihadapi oleh mereka."

Lebih menarik lagi, ketika Harsja menggambarkan sosok Soe Hok Gie adalah seorang cendekiawan ulung yang terpikat pada ide, pikiran dan terus-menerus menggunakan akal pikirannya dan menyajikan ide yang menarik perhatiannya. Tulisan-tulisannya menggugah hati pembaca.
**
Ingatanku tentang dia juga belum bisa pergi. Aku begitu menaruh harapan besar kepadanya. Sayangnya, antara aku dan dia kini dibentangi oleh jarak. Ah, kamu selalu membuat jantung ini berdetak lebih kencang.

Matahari belum juga kembali ke peraduannya. Jam mengajar tiba. Lamunanku pecah. "Cie, lagi mikirin si doi ni," canda salah satu mahasiswa paling bandel dan kritis di kampus. Di salah satu wadah pendidikan formal yang mencetak ribuan sarjana ini.

Aku hanya tersenyum dengan kelakuan Lana. Mahasiswa semester 7 yang suka diskusi dan aksi-aksi heroiknya itu. Aku dengan Lana dan beberapa mahasiswa sering diskusi di luar jam mengajar. Dan harus aku akui, Lana punya banyak bahan bacaan. Setiap minggu, ia selipkan uang jajannya untuk membeli buku. Kabar terakhir dari Lana, ia sudah memiliki 1.000 lebih koleksi buku.

Perihal dia yang jauh di sana, aku hanya bisa berdoa. Terus mendukungnya untuk tetap berkarya. Mencintai bangsa dan negara lewat karya: menulis. Dia adalah salah satu anak muda yang sampai saat ini memijakkan kakinya di tanah persinggahan, Kota Makassar. Aku dan dia adalah kawan seangkatan ketika masuk kuliah pada salah satu kampus swasta beberapa tahun lalu.

Dulu dia adalah orang yang paling aku benci. Bagaimana tidak, dia selalu membuat ulah di kampus. Di jalan raya. Mengarahkan mahasiswa melakukan protes; aksi demonstrasi, menggelar mimbar bebas, dialog, seminar, dan pentas perlawanan. Saat itu, aku masih labil. Cara berpikirku serba instan.

Lama-kelamaan aku takluk. Bahwa penilaianku selama ini terhadap dia ternyata keliru. Segala ketidaksukaanku kepadanya berubah sebagai magnet penasaran. Aku semakin terpikat. Segala perjuangan yang dia lakukan adalah murni berdasarkan pembacaan yang matang. Analisis objektifnya tidak bisa diragukan lagi.

Dari dia, aku mulai akrab dengan ragam buku. Kerap kali kami berdiskusi sepanjang waktu. Dan cintaku padanya semakin dalam. Sosok anak muda yang membawa diriku untuk terus berjuang. Bukan hanya sibuk pada urusan style belaka.

Dia selalu menguatkan aku dengan bara aksara dari jiwa yang paling luhur "Cantik itu relatif. Harus tampil beda dengan kekhasanmu. Jangan jauhkan dirimu dengan buku, diskusi. Budaya mahasiswa adalah membaca, menulis, diskusi, dan aksi. Saya berharap, kamu pertahankannya sampai maut menjemput."

Aku tersenyum. Dia adalah manusia yang luar biasa. Di depan dia, aku seperti kehabisan kata. Sosok yang selalu menginspirasi.

"Asyik. Siap Bung tampan. Guru sekaligus Kekasih hati yang kerap membuat hati ini berbunga-bunga."

"Simpan dulu segala sanjunganmu."

"Tanggung jika disimpan." Beberapa orang mengarah ke arah kami, halaman kampus kini mulai dipenuhi dengan kendaraan. Pohon-pohon melambai. Di jalan raya, kemacetan panjang sedang menganga.
**
Berselang beberapa bulan, kabar gembira datang menghampiriku. Aku lulus ujian profesi. Ditempatkan di Kota Maumere. Tahun ajaran baru aku akan masuk kerja, sebagai dosen.

Baca juga: Kupang dan Nostalgia yang Belum Rampung

Di dalam kamar, aku menulis beberapa potongan kalimat yang akan dikirim ke dia. Meminta pandangannya untuk mencari pola yang tepat; memberi kesadaran kepada masyarakat agar tidak mudah terjebak dengan keadaan. Terutama perihal gerakan mahasiswa dari dalam kampus harus tumbuh subur. Golongan intelektual organik harus dilipatgandakan.

Ingatanku tentang Gramsci ketika membaca beberapa literatur, ia mengklasifikasikan golongan para intelektual ini dalam dua dimensi: 'vertikal' dan 'horizontal'. Perihal dimensi vertikal ditemukan “para spesialis,” orang-orang yang mengatur industri khususnya untuk kapitalis (termasuk manajer industri dan mandor). Pada dimensi itu kita juga menemukan "direktur"–penyelenggara masyarakat umum. Pada dimensi horizontal, Gramsci mengklasifikasikan intelektual, baik sebagai intelektual tradisional maupun sebagai intelektual organik.

Intelektual tradisional adalah intelektual yang terkait dengan tradisi dan intelektual masa lalu. Mereka yang tidak secara langsung terkait dengan struktur ekonomi masyarakat khusus mereka. Dan pada kenyataannya, menganggap diri mereka tidak memiliki dasar dalam kelas sosial apa pun serta tidak mengikuti wacana kelas atau wacana politik tertentu.

Sedangkan intelektual organik lebih berkaitan langsung dengan struktur ekonomi masyarakat mereka karena fakta bahwa “setiap kelompok sosial yang berasal dari pemenuhan tugas penting produksi ekonomi” menciptakan intelektual organiknya sendiri. Intelektual organik “memberikan keseragaman kelasnya dan kesadaran akan fungsinya sendiri, dalam bidang ekonomi dan pada tingkat sosial dan politik.”

Antonio Gramsci lahir di Ales, Italia pada 22 Januari 1891. Meninggal 27 April 1937 pada usia 46 tahun. Ia adalah filsuf Italia, teoretikus, dan penulis. Gramsci pernah dipenjara pada masa berkuasanya rezim Fasis Benito Mussolini.

Tulisan-tulisannya menitikberatkan pada analisis budaya dan kepemimpinan politik. Ia dianggap sebagai salah satu pemikir orisinal utama dalam tradisi pemikiran Marxis. Ia juga dikenal penemu konsep "hegemoni budaya" sebagai cara untuk menjaga keberlangsungan negara dalam sebuah masyarakat kapitalisme.

Aku coba berdamai dengan kata hati. Mulai menulis.

“Aku selalu setia menunggumu. Jangan pernah putus asa untuk merangkul generasi zaman. Ada banyak hal baru yang aku temukan di kota ini, negeri Timur Jauh. Semoga ada waktu luang, kita akan berbicara panjang. Tetaplah sebagai sosok istimewa yang terus memberiku semangat. Setidaknya, teori dan segala gagasan berlian yang kita peroleh di kampus tua; pelbagai lembaga ekstra kampus itu tetap diwujudnyatakan dalam kehidupan bermasyarakat." Jemariku bergetar. Rasanya dia sedang duduk di sampingku. Ah, khayalanku cukup memberi pengaruh.

“Jangan pernah kau gadaikan kemerdekaan dan semangat juangmu lantaran disogok; dirayu oleh mereka yang suka berpura-pura itu. Congkak dan serakah atas nama jabatan dan kekuasaan. Aku akan menciptakan perubahan dari dalam sistem, ruang birokrasi. Dari dalam kampus. Betul katamu dulu, 'bibit korupsi dan segala bentuk kejanggalan tersubur ada di dalam ruang birokrasi. Sebagai angkatan muda; pelopor, kita tidak boleh menutup mata dan telinga. Karena arah bangsa dan perubahan bersama ada di pundak kita semua.' Kini kehidupan nyata lebih kejam. Semoga mahasiswa-mahasiswaku tidak harus bangga menyandang status 'maha sisa’. Sarjana kertas doang. Sebagai intelektual pasif ketika dibenturkan dengan kehidupan nyata. Kiranya skill dan segala keahlian sebagai salah satu jaminan hidup di nation-state yang begitu majemuk ini."

Salam manis dariku,
-Masya Ayunda

Ditulis oleh Djafar Doel AH, Pengarang Merdeka

Add a comment

Related posts:

Thank you for breaking my heart this year.

An open letter to the man who broke my heart, and a solidarity letter for any woman who has felt unheard, unloved, or told they are “too much.” My heart ached for our late night adventures, the…

10 Technologies that are Shaping Our World

As technology continues to advance, there are always new and exciting trends emerging in the tech industry. Here are 10 trending technologies that are making a significant impact in the world today…

Frothing for Newbies

Ever wonder why some cappuccinos and lattes taste better than others even when they are made from the exact same ingredients? Chances are the taste variation is in the froth or foam that sits on top…