A New Economy

The current economic system of extractive capitalism is riddled with inefficiencies and costs because it unnecessarily favours the wealthy. Housing, water systems, electricity supply, transportation…

Smartphone

独家优惠奖金 100% 高达 1 BTC + 180 免费旋转




The Heart Wants What It Wants

Seperti yang sudah ia duga saat kelakuannya tak sengaja ditangkap basah oleh Yoongi, Jungkook menghabiskan malam hingga pagi hari mendengar omelan sang kakak tanpa henti. Jungkook tahu Yoongi memang benar mengkhawatirkannya, namun ia berkilah bahwa ia tak lagi sering menghabiskan waktu dengan menenggak alkohol bersama teman-temannya. Jungkook sudah menjelaskan semua alasannya dengan jujur, namun hal itu tak mengurangi durasi orasi Min Yoongi padanya.

“Apa ngga cape ngomel terus?” gerutu Jungkook saat mendengar Yoongi kembali menyindirnya, “Dari malam sampe jam berapa ini? Ngomel terus. Gue kan udah minta maaf…”

“Bukan masalah minta maafnya, Jungkook. Tapi lo tuh harus belajar tanggung jawab sama diri sendiri. Lo bukan anak yang ga dihirauin sama keluarga, kita semua sayang dan peduli sama lo. Tapi lonya suka begini, sama diri sendiri ga bisa protektif. Gue tuh khawatir sama kesehatan lo.” oceh Yoongi tanpa jeda.

Lelaki yang lebih tua itu kemudian berjalan mendekat ke sisi ranjang, menatap Jungkook yang merengut dengan mata yang masih setengah tertutup karena kantuk, “Lo kan udah janji bakal treat yourself better, Kook. Janji ga bakal mabok-mabokan lagi.”

“Iya…”

“Lo juga udah janji sama gue kalo lo ga bakal begini lagi kan?”

“Iya…”

“Terus kenapa lo ulangi? Mana ga pamit izin orang tua.”

Jungkook sejujurnya masih butuh istirahat karena kepalanya masih merasa pening, namun ia merasa tak bisa melawan kala kakaknya itu sibuk menasehatinya. Ia tahu ia salah, ia tahu Yoongi bermaksud baik. Maka dari itu yang dapat ia lakukan hanya diam dan mendengarkan semua yang Yoongi katakan padanya.

“Maaf…”

Yoongi menghela nafas panjang, sedikit merasa bersalah karena melihat Jungkook yang tampak menyesal.

“Mama sama Papa bisa marah kalo tau soal ini, Kook. Belum lama masalah sex life lo, sekarang alkohol. Cukup ya? Gue tau gue cuma abang tiri lo, tapi gue beneran care sama lo.”

“You’re not my step brother,” ucap Jungkook pelan sebelum mengangkat kepalanya untuk menatap Yoongi, “You’re my brother, ngga usah pake kata step. Gue ngga suka.”

“Oke, maaf. Tapi beneran gue minta lo berubah mulai sekarang, bisa? Setidaknya kalo memang mau party, izin dulu Kook. Setidaknya izin sama gue.”

“Iya ntar izin kok, udahan marahnya, please…”

Yoongi kembali merasa bersalah kala melihat Jungkook yang sedikit memohon agar dirinya berhenti mengoceh. Ia lalu menghela nafasnya, mengatur situasi dirinya agar tak lagi dikuasai emosi. Ia lalu meraih kepala belakang Jungkook, menariknya untuk masuk ke dalam pelukannya. Jungkook pada akhirnya bisa bernafas lega, kedua tangannya kemudian ikut melingkari pinggang Yoongi, menyamankan dirinya dalam pelukan sang kakak.

Yoongi kembali menjadi sosok egois yang memanfaatkan keadaan, memeluk Jungkook sebagai adiknya, juga memeluk Jungkook sebagai lelaki yang mengambil hatinya. Yoongi ingin sekali menarik tubuh Jungkook agar berdiri berhadapan dengannya, memeluk erat tubuh besar yang hangat, dan bahkan merasakan bagaimana manisnya bibir tipis yang dihiasi lip piercings milik adik tirinya.

Yoongi bingung harus merasa bersyukur atau bahkan merugi, sebab di keadaan sekarang ia bisa dengan leluasa menyentuh tubuh lelaki yang disukainya, namun tak bisa memberikan afeksi lebih dari layaknya seorang kakak. Yoongi tahu ia gila, otaknya berkali-kali memberi perintah untuk melupakan benang merah di antara keduanya, namun sekali lagi ia tersadar bahwa hidup mereka tak hanya untuk dihabiskan kali ini saja.

“Ini kan weekend, kenapa malah ke studio?” tanya Jungkook sembari memasang seatbelt-nya. Ia kemudian mulai melajukan mobilnya sesaat setelah Yoongi telah duduk dengan nyaman di kursi sebelahnya.

“Kerjaan kaya kerjaan gue mah ngga ada kata weekend, Kook. Kapan aja bisa.”

“Ngomelin gue soal ngejaga badan, sendirinya juga begitu, diforsir sama kerjaan.” sindir Jungkook pada Yoongi di sebelahnya.

“Masih mau ronde ketiga nih?”

“Ngga ah, ngga enak. Mending seks 3 ronde iya enak.” ucap Jungkook asal.

Jungkook mendapat pukulan cukup keras pada lengannya dari Yoongi. Ia lalu tertawa terbahak-bahak sebab Yoongi terus-terusan menyerangnya karena sikap jahil yang tak henti ia keluarkan di hadapan sang kakak. Jungkook sebenarnya sengaja karena ia ingin melihat bagaimana reaksi lelaki yang lebih tua darinya.

“Gue lagi nyetir, Kak. Sakit ih! KDRT ya lo!”

“Mulut lo kalo ga ngomong aneh-aneh sebentar aja ga bisa kah, hah? Anak kecil ngomongnya seks mulu!”

“Bercanda anjir, kenapa harus pake kekerasan? Lo tuh harus jadi contoh abang yang baik buat adek bungsu kaya gue!” protes Jungkook sambil tertawa, “And for a good note, I’m a twenty six years old man, udah ngga tabu buat ngomongin seks.”

“Bercanda apaan, otak lo mesum terus! Iya emang ga tabu, cuma ga ngomongin seks in a daily basis juga, anjir!”

“Yailah yang penting ngga mesum ke lo!” tawa Jungkook semakin menjadi melihat tingkah kakaknya yang sibuk memarahinya meski tak serius, “Lagian lo tuh aneh, wajar kali laki ngomongin seks. Apa jangan-jangan lo masih virgin?”

Pertanyaan Jungkook itu mengundang kekesalan baru pada Yoongi, namun lagi-lagi ia tak sanggup untuk kembali menghabiskan energinya hanya untuk mengomentari setiap ucapan asal yang sengaja Jungkook lontarkan padanya.

No judgment here, Gi. Not exactly my problem too, cuma lucu aja tiap gue ngomongin aneh-aneh lo bereaksinya begini.” ucap Jungkook kemudian. Kedua matanya kembali fokus ke jalanan di hadapannya, menunggu Yoongi menimpalinya.

Yoongi bingung harus menjawab Jungkook dari mana, sebab ia tak pernah dengan terbuka menyatakan diri bahwa preferensinya mungkin saja berbeda dari yang Jungkook duga selama ini. Orang-orang terdekatnya tentu sudah tahu sebab Yoongi sudah beberapa kali memiliki pasangan, namun ia tak pernah menunjukkannya secara terang-terangan. Ayahnya pun sudah tahu, dan tak sedikitpun mengucilkan putranya. Dukungan demi dukungan selalu Yoongi terima, namun ia juga tak memungkiri fakta bahwa ia masih merasa takut jika suatu saat Jungkook akan mengetahui semua rahasia yang ia tutupi.

“Of course not,” ucap Yoongi pelan, “I had sex too, sometimes. But only with my partner.”

Jungkook mengangguk di posisinya, tak mengalihkan pandangannya dari jalanan, “So you never did the ‘one night stand’ thing before?”

“Nope, never.”

“Good boy.” ucap Jungkook pelan sambil tersenyum. Yoongi yang tak sengaja melirik ke arah adik tirinya itu entah mengapa jadi berdebar hanya dengan melihat senyuman tipis di wajah lelaki yang baru saja memujinya.

“Lo sendiri, sejak kapan mulai kaya gitu?” tanya Yoongi tiba-tiba.

“Gue sebenernya ngga sesering itu tidur sembarangan, gue juga takut sakit, Kak. Tapi kadang gimana ya? Needs and wants, sih. Terlebih kalo gue stress, gue beneran butuh distraksi aja. That’s why I do those nasty things.

You can sing like you’ve always done, kenapa harus ke arah sana?”

I don’t know, sex makes me forget and ease the pain. Dan lagian enak juga.”

Yoongi kembali memutar kedua bola matanya malas, tak lagi sanggup meladeni obrolan tak senonoh Jungkook. Ia memilih untuk tak menimpali ucapan adiknya yang kini tengah tertawa.

“Gue ngerasa beruntung sekarang punya Papa sama lo, Kak.” aku Jungkook tiba-tiba saat mobil yang dikendarai keduanya sedang berhenti karena lampu merah, “Gue dulu sempat mikir, kalo gue punya bokap kayanya gaya hidup gue ngga bakal serampangan kaya anak ngga diurus begini, padahal gue selalu hidup enak meskipun cuma berdua Mama. Sekarang sejak ada Papa, gue tiap mau bikin masalah selalu mikir takut Papa bakal marahin gue, padahal ngga pernah. Papa pernah sekali nge-gap gue pulang party, yang ternyata dia nungguin gue pulang dari empat jam sebelumnya. And all he did was just hugged me tightly, terus bilang, ‘Besok-besok kalo mau pulang telat, Papa dikabari ya, Kook’ sambil ngerangkul gue masuk ke kamar. Di situ gue ngerasa bersalah banget.”

“Terus kenapa semalam diulang?” tanya Yoongi saat tatapan keduanya bertemu, “Tadi malam lo ga izin kan?”

“Gue takut ngga dikasih izin, sementara gue pengen banget dateng karena udah lama ngga kumpul sama temen-temen gue. Work has been stressful for me too, ditambah masalah cewe gila kemaren, jadi gue butuh distraksi lagi.” jawab Jungkook dengan jujur.

“Kan bisa dengan ga mabok-mabokan, Jeon Jungkook.”

“Ya gue kalo ngga mabok biasanya get laid, tapi lo udah larang gue buat have sex, jadi ya jalan terakhir gue minum aja. Lagian ngga sebanyak biasanya, Kak Gi. Gue masih mikirin rumah kok.”

“Ngga sebanyak biasanya tapi tipsy?”

“Ya namanya juga alkohol, Kak. Lo mah, gue salah terus ini namanya.”

“Iya gue ga bakal ngomel kalo gaya hidup lo beneran udah berubah, ngga sembarangan tidur sama orang, ga mabok-mabokan lagi. Be a considerate person, Kook.”

“Bantuin.” pinta Jungkook pelan, “Lo harus bantuin gue biar gue ngga kaya gitu lagi.”

“Gue pasti bantu, lo mau gue bantu gimana?” tanya Yoongi padanya.

“Terserah lo mau gimana, yang penting lo mesti inget ini; gue ngga suka ditinggalin. Gue ngga suka sendirian.”

Senyuman hangat terpatri jelas di wajah Min Yoongi seusai dirinya diantar oleh Jungkook ke studio milik Yijeong yang sudah seperti rumah kedua baginya. Kedua lelaki itu sering menghabiskan waktu di sana, berdiskusi hingga menggarap musik berdua. Keduanya merupakan produser musik yang cukup terkenal di ranahnya, namun tak pernah mau menampakkan wujud ke media.

“Abis dapet duit berapa juta lo sampe senyum-senyum begitu?” tanya Yijeong saat pintu studionya terbuka dan menampilkan Yoongi yang terlihat senang.

“Gue selalu senyum.” jawab Yoongi acuh dengan wajahnya yang masih mengulas senyum.

“Bohong banget, anjir.” ucap Yijeong tak percaya, “Lo ke sini jadi dianter Jungkook?”

“Jadi, barusan pergi tuh anaknya. Kenapa? Mau ketemu? Mau kenalan sama Jungkook?”

Yijeong kemudian tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaan beruntun dari Yoongi untuknya, “Woy, santai aja! Kaga gue ambil adek lo.”

“Ya kali aja…”

Yoongi kemudian menghela nafas panjang, duduk bersandar pada sofa yang menjadi tempat favoritnya di sana. Ia tak bersuara, tenggelam dalam pikirannya sendiri yang entah sudah sejauh apa. Yijeong yang melihatnya itu memutuskan untuk tak mengganggunya, namun ia dengan tanpa diminta membuatkan segelas kopi hangat untuk tamunya.

Yoongi mengangkat satu tangannya untuk kemudian ia letakkan di atas keningnya, menutup rapat mata dan kembali sibuk menata apa yang ada di pikiran juga hatinya.

“Lo oke?” tanya Yijeong pelan. Lelaki itu kemudian berjalan mendekat, lalu duduk pada sisi lain sofa yang diduduki Yoongi.

“Gue gila kali ya? Kayanya sih emang gue udah gila…”

“Lo kenapa?”

Yoongi kemudian membuka kedua matanya perlahan, menatap langit-langit ruangan itu lalu kembali mengatur nafasnya yang entah kenapa tak beraturan.

“Gue pikir gue bisa ngasih batasan ke diri gue sendiri soal perasaan. Gue pikir gue udah cukup dewasa untuk ga egois, tapi ternyata nggak, Jeong. Gue ternyata masih brengsek, masih egois.”

Yijeong sebenarnya sudah mengantisipasi topik ini, namun ia tak ingin menambah beban Yoongi dengan tak menjadi teman cerita yang baik untuk sahabatnya. Hatinya ikut merasa berat, merasa takut dengan hal yang akan dibicarakan langsung oleh Min Yoongi, sahabat yang sudah disukainya sejak dua tahun yang lalu.

“Jungkook ya?” pertanyaan yang sebenarnya merupakan jawaban dari kegelisahan Yoongi selama dua bulan terakhir.

“Gue brengsek ya, Jeong? Itu anak udah nganggap gue kakaknya, he rely on me so much like a little brother rely on his older sibling. Tapi gue bisa-bisanya malah tambah cinta sama dia…”

Deg!

Yijeong dapat dengan jelas mendengar bagaimana hatinya remuk mendengar kalimat terakhir yang Yoongi sampaikan kepadanya. Yoongi jatuh cinta, lagi, dengan laki-laki yang kini berstatus sebagai adik tirinya.

“Gue beneran ga ngerti lagi harus gimana, sementara setiap hari gue ketemu sama dia. I’ve never been treated like this before, gue ga pernah ngerasa gimana rasanya punya saudara. Jungkook selalu ngandalin gue tiap saat, and he took the opportunity to be clingy little brother ke gue, setiap saat. Tapi gue malah salah paham, gue malah salah tingkah. Gue tau gue salah, tapi hati gue ga bisa bohong kalo gue nganggap dia bukan sebagai adik, tapi sebagai laki-laki, Jeong.”

Yijeong menggenggam pelan pundak Yoongi, kemudian menepuknya tanpa menyakiti. Jauh di dalam hatinya, ia merasa iba sebab ia tahu betapa keras usaha Yoongi untuk tak menjadi bodoh hanya karena cinta pertamanya. Yoongi yang kala itu masih tak mengerti banyak hal, nyaris berbuat hal gila hanya agar Jungkook melihatnya. Yoongi tak paham bagaimana bisa ia menyukai sosok Jungkook yang bahkan jarang berinteraksi dengannya. Jungkook hanya berdiri sekian meter darinya, namun sorot mata juga hatinya jatuh pada lelaki yang berusia empat tahun lebih muda darinya.

Ia pernah menjadi panitia acara yang menampilkan Jungkook sebagai vokalis utama. Itu adalah hari terakhir Yoongi bisa dengan leluasa melihatnya, sebelum pada pertemuan berikut hatinya patah sebab kedua netranya melihat Jungkook yang ternyata telah berpasangan dengan seorang wanita cantik seusianya.

Yijeong di sana, menjadi saksi bagaimana Yoongi mulai kehilangan semangat karena patah hati pertamanya. Yoongi mulai merasa ia tak seharusnya menyukai Jeon Jungkook karena ternyata inginnya berbeda. Ia merasa seharusnya cinta pertama berlangsung indah, namun nyatanya fana.

“Lo yakin, Gi? I mean, beneran lo jatuh cinta lagi sama orang yang sama, after all these years?” Yijeong bertanya pelan, tak ingin menyinggung perasaan Yoongi yang bingung.

“Ngga, Jeong. Bukan jatuh cinta ‘lagi’, but the love was always there, deep down inside of me all these years… And it’s getting bigger now…

Pengakuan lirih Yoongi itu membuatnya sedikit terkejut. Pasalnya, yang ia tahu Yoongi sudah lama bangkit dari jatuhnya.

“Maksud lo? Gimana? Bukannya lo udah lama move on ya?”

“I’ve always looking for ‘him’ in another person, Jeong. Jahat ya gue…” Yoongi tersenyum pahit, tak berani menatap Yijeong yang sudah pasti terkejut karena pengakuannya, “Kalo aja lo ngeh, semua yang pernah sama gue selalu mirip sama Jungkook. Gayanya, seleranya, apapun. He is the standard. Gue selalu mau dia dari awal.”

“Yoongi, sumpah…”

“Tau. Gue tau, gue brengsek. Makanya hubungan gue ga pernah bertahan lama, karna gue mulai ga terima karena yang sama gue bukan orang yang selama ini gue harapin. Gue tau gue brengsek, Jeong. Mungkin karena itu sekarang Tuhan ngasih gue Jungkook, jauh lebih dekat dari yang pernah ada dalam bayangan gue, tapi ada tembok tinggi yang susah gue panjat. Ibaratnya gue sama dia beneran tinggal sejengkal, tapi sejengkal itu tembok tinggi yang ngga bisa gue lewati dengan mudah, Papa dan Mama.”

You’re so fucked up, Gi. Kacau sih…”

Sorry kalo gue ikut bikin lo kecewa, but I only have you now…

“Gue bukannya mau jadi orang jahat yang bakal nyebutin semua dosa yang lo lakuin sebelum ini, cuma gue gak nyangka kalo ternyata perasaan lo ke Jungkook yang dulu tuh sedalam ini, senyata ini. Gue pikir itu cuma sekedar cinta monyet biasa, yang bahkan gak berbalas. Jangankan berbalas, pihak satunya tau juga enggak. Tapi ternyata jauh ya, Gi? Ternyata feeling lo ke dia jauh lebih besar dari yang pernah gue bayangin…”

“Iya…” gumam Yoongi pelan, “Lo kalo kecewa sama gue gapapa, Jeong. Lo maki gue sekarang juga gapapa, tapi please, biarin gue dulu, let me sort things up by myself. You know how it feels like when the heart wants what it wants, right?

Yijeong mengangguk pelan, kembali menepuk pundak Yoongi yang kini menanggung beban berat seorang diri. Ia merasa tak tega melihat Yoongi, namun ia juga tak mampu berbuat banyak sebab hatinya juga perlu pulih.

“Gue bakal dengerin apapun yang mau lo ceritain ke gue, Gi. Like I always do. Gue juga gak bakal bertindak sebagai hakim buat ini semua, karena menurut gue sebenarnya juga gak salah, karena setidaknya kalo lo mau berbuat gila, lo sama dia gak ada hubungan darah. Cuma lo tau konsekuensi besar yang akan lo hadapi ketika itu terjadi kan, Gi? Keluarga yang menjadi puncak harapan lo seumur hidup bisa hancur kalo lo salah ambil langkah.”

“Thank you for the reminder, Jeong…”

“Tapi,” sanggah Yijeong kemudian, “Lo berhak untuk raih bahagia lo sendiri, Gi. Bahagia yang mungkin cuma bisa Jungkook yang ngasih ke lo.”

Yoongi mengernyitkan dahinya, bingung dengan pernyataan Yijeong, “Maksud lo?”

Yijeong kemudian membawa satu tangannya yang berada di pundak Yoongi untuk turun ke lengan sahabatnya, lalu menepuk pelan paha Yoongi sebelum berucap, “Gue pernah baca quote yang bunyinya kaya gini, ‘We have to cross the line sometimes instead of living our life with too many ‘what if’…’”

Add a comment

Related posts:

Kazakhstan intends to increase its share in the capital of the Eurasian Development Bank

The head of the Ministry of Finance of Kazakhstan Yerulan Zhamaubayev told the portal NUR.KZ about the upcoming purchase of a 4.2% stake in the Eurasian Development Bank (EDB) from Russia. He…

Safety Tips for Travelers in the Digital World

Our learning ability decreases when we have a cell phone or computer next to us. Immediately after the lecture, the group with the computer did not remember the lecture more than the group without…